Hak Nafkah Termasuk Pakaian dan Tempat Tinggal
Seorang suami memiliki kewajipan untuk memberikan nafkah secara penuh kepada isterinya, yang berupa nafkah makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal yang sesuai dengan keperluan isteri dan kemampuan kewangan suami.
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya [~Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)~], dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Pada suatu hari Khaulah binti Aswad mendatangi Rasulullah saw dan bertanya tentang hak isteri. Beliau menjawab:
حقّك عليه أن يطعمك ممّا يأكل ويكسوك ممّا يلبس ولا يلطم ولا يصيح في وجهك
“Hak-hakmu atas suami adalah ia harus memberimu makan dengan kwalitas makanan yang ia makan dan memberimu pakaian seperti kualiti yang ia pakai, tidak menampar wajahmu, dan tidak membentakmu” (Makarim Al-Akhlaq:218)
ملعون ملعون من يضيع من يعول
“Terkutuklah! Terkutuklah orang yang tidak memberi nafkah kepada mereka yang menjadi tanggung jawabnya.” (Makarim Al-Akhlaq:218)
Kewajipan suami untuk memberikan nafkah penuh kepada keluarga, merupakan salah satu sebab kenapa suami mempunyai hak kepemimpinan dalam rumah tangga. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt.: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh kerana Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"[Surah An-Nisaa’(4):34]. Maka dalam ayat ini Allah swt. menguraikan bahwa Dia telah menciptakan laki-laki dengan memiliki beberapa derajat kelebihan dibandingkan perempuan yang berupa fitrah fizikal dan kejiwaan yang menjadikan dia siap untuk memimpin keluarga dan menjalankan berbagai perkara kehidupan yang ada dalam keluarga. Dan sebagai balasannya, Allah swt. mewajibkan suami untuk menanggung secara penuh tanggung jawab nafkah material keluarga.
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang kedekut [~Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat kedekut dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat kedekut secara mutlak kerana betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada isterinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)~]. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya [~Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”~].” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada isteri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para isteri) [~Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para isteri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)~] kerana mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu [~Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)~], terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata [~Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)~]. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap isteri-isteri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
Dalam suatu kelompok manusia, tanpa mempedulikan kecil dan besarnya kelompok tersebut, pasti memerlukan seorang pemimpin yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan memimpin kelompok tersebut, dan hal ini merupakan suatu sunatullah dalam semesta. Begitu juga halnya dengan keluarga, yang merupakan sebuah susunan kelompok sosial yang paling kecil, pasti memerlukan adanya seorang pemimpin yang dapat mengarahkan roda kehidupan keluarga.
Dan hak kepemimpinan keluarga yang dimiliki oleh suami bukanlah sebuah hak kekuasaan yang mutlak, kerana Islam tidak mengakui kekuasaan mutlak manusia terhadap manusia yang lain, melainkan dia hanya merupakan pemegang amanah yang pasti akan ditanyakan oleh Allah di akhirat kelak akan amanahnya itu. Telah diriwayatkan daripada ‘Abdullah (RA) yang Rasulullah (SAW) bersabda: “Setiap dari kamu adalah pengembala dan bertanggung-jawab untuk biri-biri nya. Pemimpin yang memimpin manusia adalah pengembala dan bertanggung-jawab atas mereka. Lelaki adalah pengembala untuk ahli rumahnya dan bertanggung-jawab atas mereka. Perempuan adalah pengembala atas rumah dan anak-anak suaminya dan bertanggung-jawab atas mereka. Hamba adalah pengembala atas harta tuannya dan bertanggung-jawab atas harta itu. Setiap kamu adalah pengembala dan setiap kamu adalah bertanggung-jawab atas biri-biri kamu.”Riwayat oleh al-Bukhaari, 2416; Muslim, 1829. Maka jika suami berlaku sewenang-wenangnya dalam menggunakan haknya ini, isteri berhak untuk tidak berlaku tunduk kepadanya kerana ketaatan dituntut hanya pada perkara kebaikan saja.
Berbalik ke surah an-Nisaa' ayat 34 tadi, kewajipan penuh seorang suami untuk memberikan nafkah kepada keluarganya adalah sebab yang kedua yang membuat dia memiliki hak kepemimpinan di dalam keluarga. Sedangkan seorang isteri dalam syari’at Islam sama sekali tidak memiliki kewajipan mengeluarkan harta miliknya untuk menafkahi keluarganya, meskipun dia adalah seorang wanita yang kaya raya. Dan jika ternyata isteri juga ikut menanggung beban nafkah keluarga, maka hal ini dia lakukan harus semata-mata berdasarkan kerelaannya, bukan kerana dia memiliki tuntutan agama untuk memenuhi nafkah keluarganya. Ini bererti, dia memiliki kebebasan penuh untuk menolak daripada menanggung beban tanggung jawab nafkah keluarganya.
Berkaitan dengan hal ini, imam al Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan: para ulama memahami firman Allah yang berbunyi: "dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"[Surah An-Nisaa’: 34], bahwa jika suami tidak mampu memberikan nafkah material kepada isterinya, maka dia tidak memiliki hak kepemimpinan terhadapnya. Dan ketika suami tidak mampu menjalankan kewajipannya yang membuat dia tidak berhak untuk memegang hak kepemimpinan terhadap isterinya, maka isteri dapat memfasakh (membatalkan) akad pernikahannya. Dan hal ini merupakan suatu bukti bahwa pernikahan dapat dibatalkan akibat kesulitan ekonomi, yang menyebabkan suami tidak mampu memberikan nafkah material dan pakaian. Ini adalah pendapat imam Malik dan imam Syafii, dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah yang menilai bahwa isteri tidak memiliki hak untuk membatalkan perkahwinan akibat kesulitan ekonomi.
(dipetik dari http://www.paksi.net.)
Seorang suami memiliki kewajipan untuk memberikan nafkah secara penuh kepada isterinya, yang berupa nafkah makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal yang sesuai dengan keperluan isteri dan kemampuan kewangan suami.
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya [~Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)~], dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Pada suatu hari Khaulah binti Aswad mendatangi Rasulullah saw dan bertanya tentang hak isteri. Beliau menjawab:
حقّك عليه أن يطعمك ممّا يأكل ويكسوك ممّا يلبس ولا يلطم ولا يصيح في وجهك
“Hak-hakmu atas suami adalah ia harus memberimu makan dengan kwalitas makanan yang ia makan dan memberimu pakaian seperti kualiti yang ia pakai, tidak menampar wajahmu, dan tidak membentakmu” (Makarim Al-Akhlaq:218)
ملعون ملعون من يضيع من يعول
“Terkutuklah! Terkutuklah orang yang tidak memberi nafkah kepada mereka yang menjadi tanggung jawabnya.” (Makarim Al-Akhlaq:218)
Kewajipan suami untuk memberikan nafkah penuh kepada keluarga, merupakan salah satu sebab kenapa suami mempunyai hak kepemimpinan dalam rumah tangga. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt.: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh kerana Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"[Surah An-Nisaa’(4):34]. Maka dalam ayat ini Allah swt. menguraikan bahwa Dia telah menciptakan laki-laki dengan memiliki beberapa derajat kelebihan dibandingkan perempuan yang berupa fitrah fizikal dan kejiwaan yang menjadikan dia siap untuk memimpin keluarga dan menjalankan berbagai perkara kehidupan yang ada dalam keluarga. Dan sebagai balasannya, Allah swt. mewajibkan suami untuk menanggung secara penuh tanggung jawab nafkah material keluarga.
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang kedekut [~Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat kedekut dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat kedekut secara mutlak kerana betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada isterinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)~]. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya [~Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”~].” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada isteri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para isteri) [~Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para isteri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)~] kerana mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu [~Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)~], terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata [~Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)~]. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap isteri-isteri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
Dalam suatu kelompok manusia, tanpa mempedulikan kecil dan besarnya kelompok tersebut, pasti memerlukan seorang pemimpin yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan memimpin kelompok tersebut, dan hal ini merupakan suatu sunatullah dalam semesta. Begitu juga halnya dengan keluarga, yang merupakan sebuah susunan kelompok sosial yang paling kecil, pasti memerlukan adanya seorang pemimpin yang dapat mengarahkan roda kehidupan keluarga.
Dan hak kepemimpinan keluarga yang dimiliki oleh suami bukanlah sebuah hak kekuasaan yang mutlak, kerana Islam tidak mengakui kekuasaan mutlak manusia terhadap manusia yang lain, melainkan dia hanya merupakan pemegang amanah yang pasti akan ditanyakan oleh Allah di akhirat kelak akan amanahnya itu. Telah diriwayatkan daripada ‘Abdullah (RA) yang Rasulullah (SAW) bersabda: “Setiap dari kamu adalah pengembala dan bertanggung-jawab untuk biri-biri nya. Pemimpin yang memimpin manusia adalah pengembala dan bertanggung-jawab atas mereka. Lelaki adalah pengembala untuk ahli rumahnya dan bertanggung-jawab atas mereka. Perempuan adalah pengembala atas rumah dan anak-anak suaminya dan bertanggung-jawab atas mereka. Hamba adalah pengembala atas harta tuannya dan bertanggung-jawab atas harta itu. Setiap kamu adalah pengembala dan setiap kamu adalah bertanggung-jawab atas biri-biri kamu.”Riwayat oleh al-Bukhaari, 2416; Muslim, 1829. Maka jika suami berlaku sewenang-wenangnya dalam menggunakan haknya ini, isteri berhak untuk tidak berlaku tunduk kepadanya kerana ketaatan dituntut hanya pada perkara kebaikan saja.
Berbalik ke surah an-Nisaa' ayat 34 tadi, kewajipan penuh seorang suami untuk memberikan nafkah kepada keluarganya adalah sebab yang kedua yang membuat dia memiliki hak kepemimpinan di dalam keluarga. Sedangkan seorang isteri dalam syari’at Islam sama sekali tidak memiliki kewajipan mengeluarkan harta miliknya untuk menafkahi keluarganya, meskipun dia adalah seorang wanita yang kaya raya. Dan jika ternyata isteri juga ikut menanggung beban nafkah keluarga, maka hal ini dia lakukan harus semata-mata berdasarkan kerelaannya, bukan kerana dia memiliki tuntutan agama untuk memenuhi nafkah keluarganya. Ini bererti, dia memiliki kebebasan penuh untuk menolak daripada menanggung beban tanggung jawab nafkah keluarganya.
Berkaitan dengan hal ini, imam al Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan: para ulama memahami firman Allah yang berbunyi: "dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"[Surah An-Nisaa’: 34], bahwa jika suami tidak mampu memberikan nafkah material kepada isterinya, maka dia tidak memiliki hak kepemimpinan terhadapnya. Dan ketika suami tidak mampu menjalankan kewajipannya yang membuat dia tidak berhak untuk memegang hak kepemimpinan terhadap isterinya, maka isteri dapat memfasakh (membatalkan) akad pernikahannya. Dan hal ini merupakan suatu bukti bahwa pernikahan dapat dibatalkan akibat kesulitan ekonomi, yang menyebabkan suami tidak mampu memberikan nafkah material dan pakaian. Ini adalah pendapat imam Malik dan imam Syafii, dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah yang menilai bahwa isteri tidak memiliki hak untuk membatalkan perkahwinan akibat kesulitan ekonomi.
(dipetik dari http://www.paksi.net.)
No comments:
Post a Comment